Ads 468x60px

Labels

Rabu, 21 Maret 2012

Berpakaian, Telanjang dan Mâ Bainahumâ


                                     Oleh Adnan Widodo
Dua kelompok ahli neraka yang tidak aku lihat, yaitu sekelompok orang yang membawa cambuk seperti ekornya sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia, dan perempuan perempuan yang berpakaian, yang telanjang (berpakain tapi telanjang)…[HR. Muslim, no.: 3978 ].

Fungsi  utama pakaian adalah untuk menutupi sesuatu yang tidak boleh dibuka dari tubuh manusia (aurat) kecuali dalam keadaan dharurat. Di samping sebagai penutup aurat, pakain juga mempunyai fungsi sekunder sebagai hiasan bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, Islam sangat perhatian sekali dengan masalah pakaian dan dua fungsinya tadi, terutama fungsi yang primer. Jika kita perhatikan di dalam kitab kitab klasik Islam, maka kita akan memahami betapa eratnya hubungan  antara pakaian dengan iteraksi kita sehari hari, baik interaksi vertikal dengan Tuhan (ibadah) atau interaksi horizontal dengan sesama manusia (mu'amalah). Di dalam ibadah, pakaian bisa menentukan sah atau tidaknya ibadah kita, dan  dalam mu'amalah, pakaian bisa menentukan bagus atau tidaknya kesan, penilaian dan reaksi khalayak di sekitar kita.

Emha Ainun Najib pernah menegaskan dalam sebuah renungan ilir-ilirnya, bahwa pakaian adalah akhlaq (moral), dan pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. "kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau  di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau akan kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia", lanjut Emha memperkuat pendapatnya. Pakaianlah yang membuat manusia bernama 'manusia'. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai.

Apakan Islam membatasi umatnya dalam berpakaian?

Sebenarnya Islam tidak pernah menentukan pakaian yang khas untuk umatnya, kecuali ketika dalam dua keadaan, yaitu ketika haji (ihram) dan ketika telah  meninggal dunia (hendak dikubur dan seterusnya). Selain dua keadaan tersebut, umat Islam bebas memakain pakaian apa saja, baik memakai gamis, kemeja, sarung, celana dll., dengan catatan pakaian tersebut bisa menutupi aurat dan sopan.

Berpakaian tapi telanjang

Berpakaian dan telanjang adalah dua kata yang tidak butuh penjelasan, tetapi dalam hal ini penulis ingin memaparkan sekelumit penjelasannya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agar pembaca sekalian dapat mentashawurkan secara sempurna judul tulisan ini "Berpakaian, Telanjang dan Mâ Bainahumâ". Berpakaian artinya mengenakan pakaian atau berdandan, sedangkan 'telanjang' adalah perlawanan kata (antonim) dari kata berpakaian, yaitu tidak berpakaian. Dan kata Mâ Bainahumâ artinya sesuatu diantara keduanya (berpakain tapi telanjang), lalu adakah hal seperti itu?!

Sepertinya istilah seperti itu  aneh, sebab berpakaian dan telanjang itu sesuatu yang berlawanan yang tidak mungkin disatukan. Tetapi istilah tersebut penulis maksudkan  kepada seseorang yang memakai pakain minim, hingga auratnya masih terbuka dan seseorang yang mengenakan pakaian yang ketat hingga bentuk dan lekuk tubuhnya kelihatan. Mengapa demikian? Karena, dengan memakai pakaian seperti itu bisa menimbulkan indikasi negatif di benak orang yang memandangnya seperti halnya jika ia memandang seseorang yang tidak berpakaian (telanjang).  Ironisnya, hal tersebut merembet sampai kalangan orang orang yang berpendidikan agama tidak rendah, seperti santri dan alumni pesantren, bahkan hingga sebagian ustadz/ah pun ikut terjebak dalam hal seperti ini. Mereka berkerudung, tetapi mereka mengenakan kaos ketat dan celana levis atau pencil yang ketat pula dengan landasan polemik polemik  masyhur yang menjustifikasi berpakaian seperti itu, seperti 'gaul', 'mengikuti perkembangan zaman', 'kebebasan' dan lain sebagainya.

Mereka berusaha menelanjangimu

Syaikhuna Dr. M. Said Ramadhan al-Bhuti dalam kitab Fiqh Sirahnya menukil sebuah kisah dari kitab Sirah Ibn Hisyam, bahwa seorang wanita muslimah Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu untuk membuka penutup mukanya, secara diam diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.

Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang orang Yahudi yang melihatnya tertawa terbahak bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang orang Yahudi Banu Qunaiqa‘. Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi yang pertama kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.

Dari peristiwa di atas, bisa kita tarik benang merah, bahwa musuh Islam, khususnya Yahudi, mereka tidak akan pernah berhenti berusaha menjatuhkan martabat wanita muslimah dan menelanjanginya, baik secara real atu secara abstrak. Mereka sajikan figur figur wanita yang bermoral rendah lalu menjual pakain pakain yang mirip dengan pakaian wanita tersebut, mereka menjadikan wanita muslimah berkerudung berani memamerkan gambar rambut dan auratnya di dunia maya, seperti Friendster, Facebook, Twitter (FFT) dan lain lain, mereka menyebarkan video video tak bermoral kepada para pemuda agar mereka mampu menelanjangi wanita muslimah berkerudung yang menjaga diri dengan fikiran dan bayangan mereka (nas-alullâha al 'âfiyata wassalâmah), dan lain sebagainya.


Hadramaut, 21 Maret 2012.

Download PDFnya di sini: Berpakaian, Telanjang dan Mâ Bainahumâ.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar